Bagi kita ramadhan adalah sebuah momentum istimewa sebagai media untuk benar-benar meraih predikat takwa? Lebih-lebih pada tanggal ganjil yakni sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Menurut imam As-Syafi’i Lailatul Qodar turun pada tanggal ganjil disepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sangatlah beruntung seorang Muslim yang berjumpa dengan lailatul Qodar, sebab Allah memerintahkan para malaikat untuk turun ke bumi, mengatur segala urusan pada malam yang penuh sejahtera itu, seperti firman-NYA dalam QS Al-Qadar: 1-5. إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5) [القدر/1- 5] Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan (1). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu (2). Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan (3). Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan (4). Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (5).” (QS Al-Qadar: 1-5). Ironisnya bukannya kita tambah semangat beribadah, tapi sebagain dari kita malah sibuk mempersiapkan sesuatu untuk menyambut hari Lebaran, seperti bekerja kian giat agar bisa belanja pakaian dan makanan, sampai-sampai ibadah semudah iktikaf pun kadang kita tidak punya waktu. Bagi orang yang benar-benar merasa terpanggil oleh Allah SWT, tentu ia akan jadikan Ramadhan benar-benar berarti dalam hidupnya. Ia akan berusaha se maksimal mungkin meraih keridaan Allah SWT. Satu upaya yang harus dilakukan dengan penuh keimanan dan penuh semangat di bulan suci Ramadhan ialah iktikaf, terkhusus pada sepuluh hari terakhir. أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ [البقرة/187، 188] Di penghujung ayat panjang di atas (QS Al-Baqorah: 187), setelah menjelaskan aturan berpuasa Allah menyebut tentang iktikaf. Ini mengindikasikan bahwa iktikaf adalah hal penting untuk diutamakan seorang Muslim di bulan Ramadhan. Selain itu, Rasulullah SAW tidak pernah melewatkan momentum Ramadhan untuk iktikaf. Bahkan, pada tahun di mana Beliau meninggalkan umatnya untuk selamalamanya. “Nabi dahulu iktikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, hingga Beliau diwafatkan Allah SWT, kemudian istri-istrinya iktikaf setelahnya.” (HR Bukhari). Anda tahu apa itu iktikaf? Secara terminologi iktikaf berarti menetapi sesuatu dan menahan diri agar senantiasa tetap berada padanya, baik hal itu berupa kebajikan maupun keburukan. Sementara secara etemologi iktikaf bermakna menetapnya seorang Muslim di dalam masjid untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT. Kita juga perlu tahu secara historis, iktikaf dalam praktiknya juga dilakukan oleh Nabi dan umat sebelum Rasulullah SAW. Kisah ini terdapat dalam firman Allah SWT: وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ [البقرة/125] “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i´tikaf, yang ruku´ dan yang sujud”(QS Al-Baqorah: 125). Iktikaf akan membantu seorang Muslim mencapai derajat takwa dengan lebih sempurna. Sebab, dengan iktikaf, dia akan senantiasa terdorong untuk melakukan ibadah-ibadah dengan penuh kekhusyukan dan terjauh dari kemaksiatan. Nah, situasi demikian tentu akan mendorong terjadinya peningkatan kualitas iman dan takwa. Orang yang iktikaf akan terbantu untuk melakukan shalat berjamaah tepat waktu, shalat tarawih, shalat tahajud, shalat sunah, membaca Alquran, tafakur, zikir, dan beragam bentuk ibadah lainnya. Dengan cara demikian, insya Allah orang yang beriktikaf akan terbantu untuk mendapatkan malam lailatul qadar. Iktikaf tidak saja mendorong kesadaran untuk melakukan banyak ibadah, tetapi juga kesadaran untuk mencintai masjid. Kecintaan kepada masjid adalah salah satu ciri seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Allah berfirman, إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ [التوبة/18] Artinya: “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS At-Taubah: 18). Jadi, marilah kita laksanakan iktikaf dengan penuh kesungguhan. Luangkan waktu anda sesekali untuk beriktikaf, jangan dunia saja yang diurusi. Apalagi di jaman sekarang masjid sudah didirikan dimana-mana. Dengan mudah kita akan menjumpai rumah Allah, tidak seperti dulu yang, kadang perlu satu hari menempuh perjalanan untuk ke masjid. Setidaknya mingguan lah kita beriktikaf dan hari jumat adalah hari yang pas kita jadikan hari untuk bermuhasabah, tafakkur, dzikir dan lainnya. Ingat!, hidup hanya sekali. Ketika kita sudah tak bernafas, bukan dunia yang akan kita bawa mati tapi keikhlasan amal ibadah kita yang akan menjadi bekal di akhirat nanti. Oleh : Ismail Q Post navigation Putihnya Kitab Kuning Benarkah Kita Menjadi Warga NU Hanya Sebatas Kartanu?